ISU –ISU
KONTEMPORER DALAM STUDI ISLAM
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian isu-isu kontemporer dalam studi
islam?
2.
Apa saja isu-isu kontemporer dalam studi islam?
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Isu-Isu Kontemporer
B.
Isu-Isu Kontemporer dalam Studi Islam
a. Jender
Isu tentang jender telah menjadi bahasan
analisis sosial
dan menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial. Jender menjadi topik utama dalam
perbincangan pembangunan dan perubahan
sosial.
Jender menjadi
persoalan karena secara sosial
telah melahirkan perbedaan. Perbedaan ini terlihat dalam kerangka peran,
tanggung jawab, hak, fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung
diskriminatif. Dampaknya, terjadi ketidakseimbangan dalam hal akses,
partisipasi, serta kontrol
untuk laki-laki dan perempuan.
·
Pengertian Jender
Untuk memahami konsep jender kita harus bisa
membedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis
kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia
jenis laki-laki memiliki penis, memiliki jalaka (kala menjing), dan memproduksi
sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran
untuk melahirkan, memproduksi ovum, memiliki vagina, dan mempunyai alat
menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada perempuan dan
laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa
dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada laki-laki dan perempuan
yang juga permanen dan sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.
Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat
yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang diskonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut,
cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,rasional,
jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat
dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang lemah lembut, keibuan, sementara ada
juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dan sifat itu dapat
terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Semua hal yang
dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan , yang bisa berubah
dari waktu ke waktu serta berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, itulah
yang dikenal dengan konsep gender.
Sejarah perbedaan gender (gender different)
antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh
karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal,
diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara
sosial atau cultural, melalui ajaran
keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut
akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan. Seolah-olah bersifat biologis yang
tidak bisa dipertukarkan lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan
dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan.
Perbedaan gender
sesungguhnya tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan,
ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik
terhadap laki-laki maupun perempuan. Bentuk ketidakadilan gender
termanifestasikan kedalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni: marginalisasi,
atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam
keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif,
kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (double
burden).
·
Islam dan Jender
Sebagai agama terakhir
yang diturunkan Allah, Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan
agama-agama sebelumnya. Islam dibangun di atas landasan aqidah yang dihiasi
dengan ibadah dan akhlak. Karakteristik itu memilki nilai-nilai filosofis,
yaitu keadilan (al-‘adalah),persaman (al-musawah), dan persaudaraan
(al-ukhuwwah). Dalam konteks ini karakteristik Islam tentang perempuan dapat
dilihat sebagai berikut:
Pertama, agama Islam sangat menekankan persamaan derajat.
Persamaan derajat yang diajarkan Islam tidaklah pragmatis - sesuatu yang baik
untuk kepentingan sesaat – tetapi universal – sesuatu yang baik atas
pertimbangan jangka panjang dan menyeluruh. Karena itu, misi Islam adalah
menjadi agama rahmat bagi semua alam. Dengan kata lain, meski laki-laki dan
perempuan memang memiliki perbedaan terutama dari anatomi tubuhnya, tetapi
keduanya harus tetap mendukung dan melengkapi, sebagaimana firman Allah:
“mereka (perempuan) adalah pakaian bagi laki-laki dan kaum (laki-laki) juga
adalah pakain perempuan” (Qs. Al-Baqarah/2:187).
Persamaan derajat ini bermakna bahwa laki-laki dan
perempuan berpeluang untuk mencapai derajat kemuliaan (takwa). Ketinggian
derajat takwa tidak dapat diperoleh prestasi pendahuluan (ascribed status),
tetapi semata-mata usaha diri sendiri (achieved status). Untuk itu, Allah
menganugerahkan kepada mereka sejumlah potensi baik internal maupun eksternal
agar digunakan sebaik mungkin. Perbedaan biologis hanyalah sekedar variasi
sarana guna menuju kepada manusia paripurna. Dengan demikian, perbedaan anatomi
tubuh jangan dijadikan legitimasi untuk melakukan diskriminasi dengan membentuk
persepsi budaya yang merendahkan perempuan (in-feriority complex) dan
menempatkan laki-laki pada posisi yang unggul (superiority complex).
Kedua, Islam adalah ajaran rasionali-simplistis.
Rasional disini adalah tidak adanya pertentangan antara agama dengan akal.
Tidak ada wilayah dalam Islam yang terlarang untuk dipikirkan kecuali dzat
Allah. Lagi pula, temuan akal tidak dapat dianggap kebenaran mutlak, dan karena
itu dapat berubah dari waktu ke waktu. Dalam konteks kesetaraan gender ini
dengan jelas al-qur’an dan hadits member formulasi bahwa kedudukan kaum
perempuan setara dengan kaum laki-laki. Kedua-duanya sama-sama makhluk Allah.
Namun, kaum perempuan hendaknya juga menyadari bahwa kesetaraan yang bersifat
simbolik itu sulit ditemukan dalam dalam kehidupan sosial karena masing-masing dibentuk oleh tradisi dan lingkungan yang berbeda.
Sedangkan maksud simplitis adalah bahwa ajaran Islam dapat diterima dan
dipraktikkan dalam berbagai lapisan masyarakat. Semuanya sama-sama memiliki
peluang untuk dekat dengan Tuhan tanpa membeda-bedakan status sosial.
Ketiga, seluruh ajaran Islam identik dengan kemajuan.
Ajaran Islam berjalan berkelindang bersama dengan sejarah dan dalam sejumlah
hal bahkan mendahului sejarah. Sejarah masa lalu dalam Islam bukanlah
kembali ke masa lalu, tetapi bermakna agar manusia mengambil hikmah untuk
memperbaiki masa-masa yang akan datang. Salah satu contoh, ajaran tentang persamaan laki-laki dan perempuan.
Ajaran ini tidak dimiliki agama-agama sebelum Islam. Karena itulah, dapat
disimpulkan Islam merupakan agama yang mendunia (mondial) dan agama yang jauh
melampaui kemajuan.
b. Isu Pluralisme
·
Pengertian Pluralisme
Pluralisme
berasal dari bahasa inggris : pluralism. Dari bahasa latin pluralis
artinya jamak. Pluralisme dicirikan oleh keyakinan bahwa realitas fundamental
bersifat jamak. [1]
Pluralisme merupakan faham yang mengakui perbedaan dan keragaman dalam
kehidupan.
Masalah
pluralism penting dipelajari di Indonesia karena sebagian dari kebutuhan
masyarakat Indonesia yang pluralis. Masalah pluralisme itu diantaranya pluralis
di bidang agama, pluralis suku, pluralis ras, pluralis budaya dan semacamnya.[2] Pluralisme bisa menjadi
sumber petaka atau sebaliknya bisa menjadi sumber kekuatan.
Pluralisme
merupakan kunci penting untuk memahami realitas kehidupan. Realitas kehidupan
merupakan hasil konstruksi, karena itu tidak mungkin ada realitas yang tunggal,
tetapi plural. Sebab, setiap individu dan komunitas social memiliki konstruksi
social sendiri – sendiri.[3]
·
Islam dan Pluralisme
Hubungan
pluralism dan islam sangat menarik. Islam memandang pluralisme sebagai sebuah
niscaya bahkan sunnatullah. Islam mengakui adanya pluralisme.[4]
Dalam Al
Qur’an surat Al Hujurat ayat 13 yang berbunyi :
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
13.
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini
menerangkan bahwa islam mengakui keberadaan dan keberagaman suku dan bangsa
serta identitas – identitas agama selain agama islam (pluralism), namun tidak
mengakui kebenaran agama – agama tersebut (pluralism).
Salah
satu ciri – ciri perspektif islam adalah “realistis” (waqi’iyah), yakni sesuai
dengan realitas dan menempatkan serta memperlakukan sebagaimana adanya. Oleh
karena itu, Tauhid merupakan dasar segala dasar yang menentukan dan membentuk
sikap Islam terhadap fenomena keragaman agama. [5]
Pluralitas
adalah nerupakan “hukum” ilahi dan “sunnah” ilahiyah yang abadi di semua bidang
kehidupan, sehingga pluralitas itu sendiri telah menjadi karakteristik utama
makhluk Allah SWT. Pluralitas adalah “sunnah” dan “ayat” Allah SWT dalam buah –
buahan, dalam hewan dan dalam semua jenis makhluk, bahkan dalam manusia, yang
meliputi macamnya, afiliasinya, dan tingkat prestasinya dalam melaksanakan
kewajiban. Pluralitas yaitu hakekat perbedaan dan keanekaragaman yang timbul
semata karena memang adanya kekhususan dan karakteristik yang diciptakan Allah
SWT.[6]
Berdasarkan
keputusan Fatwa MUI no. 7/MUNASVII/MUI/II/2005, pengertian pluralism agama
adalah suatu faham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya
kebenaran setiap agama adalah relative. Oleh sebab itu, setiap pemeluk tidak
bleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain
salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan
hidup berdampingan di surga.
Ketentuan hukum pluralism agama
oleh MUI berbunyi :
Pluralisme,
Sekularisme, dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksut diatas adalah paham
yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
Pluralisme
agama adalah faham yang mengakui adanya keberagaman agama dan menerima
ke-“lain”-an agama lain beserta haknya untuk berbeda dalam beragama dan
berkeyakinan tetapi tidak mengakui kebenaran agama lain. Pluralisme bukan hanya
sekedar hidup bersama yang tentram tetapi yang lebih penting adalah tumbuhnya
kesadaran, pengakuan, dan penerimaan atas perbedaan dan keragaman yang ada.
Pemahaman keagamaan yang pluralis memiliki konstribusi konkret dalam
menumbuhkan toleransi dan saling pemahaman sehingga dapat menciptakan kehidupan
yang damai tanpa konflik dan kekerasan.
Menurut
teori Smart, mencatat terdapat 5 cara pandang atau sikap keagamaan dalam
merespon kebhinekaan agama, yaitu :
1.
Ekslusivisme absolute : cara pandang keagamaan
yang melihat kebenaran hanya terdapat pada tradisi sendiri, sedangkan agama
orang lain dianggap tidak benar.
2.
Relativisme absolute : cara pandang keagamaan
yang memandang bahwa berbagai sistem kepercayaan agama tidak dapat dibandingkan
satu sama lain.
3.
Inklusivisme hegemonistik : cara pandang
keagamaan yang melihat ada kebenaran pada agama orang lain tetapi prioritas
agama sendiri.
4.
Pluralisme realistic : cara pandang keagamaan
yang melihat bahwa semua agama sebagai jalan yang berbeda – beda dari satu
kebenaran yang sama.
5.
Pluralisme regulative: cara pandang keagamaan
yang melihat sementara agama memiliki nilai – nilai dan kepercayaan masing –
nasing yang mengalami suatu evolusi historis dan perkembangan kearah suatu
kebersamaan bersama.
Al-Qur’an
memiliki respon juga terhadap Pluraliyas agama. Respon tersebut diantaranya[7] :
1.
Penolakan Al-Qur’an terhadap ekslisuvisme dan
klaim kebenaran.
2.
Ajakan untuk senantiasa mencari titik temu.
3.
Pengakuan yang sama terhadap para nabi
[1]
Dualmode.kemenag.go.id/file/document/MSI9.pdf. 1/10/2012.6.50 PM
[2] Nasution, Khoirudin. 2009.
Pengantar Studi Islam. Yogyakarta.Academica. (hal. 258)
[3] Naim, Ngainun. 2009.
Pengantar Studi Islam. Yogyakarta. Teras. (hal. 134)
[4] Sutarwan Waffa, Mahmud.
2011. Menguak Pluralisme dan Komunisme dibalik Film – Film Hanung Bramantyo.
Sarang. Ribath Darussohihain. (hal.169)
[5]
Malik, Anis Toha. 2007. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta. Gema
Insani. (hal. 206)
[6]
Ibid (hal.207)
[7]
Dualmode.kemenag.go.id/file/document/MSI9.pdf. 1/10/2012.6.50 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar