/* Kotak Banner ===================== */ #Box-Banner-ads { margin: 0px; padding: 5px; text-align: center; } #Box-Banner-ads img { margin: 0px 8px 4px 0px; padding: 3px; text-align: center; border: 3px outset #c0c0c0; } #Box-Banner-ads img:hover { margin: 0px 8px 4px 0px; padding: 3px; text-align: center; border: 3px inset #333; }

Rabu, 12 Juni 2013

isu kontemporer dalam studi islam



ISU –ISU KONTEMPORER DALAM STUDI ISLAM   

RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian isu-isu kontemporer dalam studi islam?
2.      Apa saja isu-isu kontemporer dalam studi islam?
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Isu-Isu Kontemporer
B.      Isu-Isu Kontemporer dalam Studi Islam
a.  Jender
Isu tentang jender telah menjadi bahasan analisis sosial dan menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial. Jender menjadi topik utama dalam perbincangan pembangunan dan  perubahan sosial.
Jender menjadi persoalan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan. Perbedaan ini terlihat dalam kerangka peran, tanggung jawab, hak, fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif. Dampaknya, terjadi ketidakseimbangan dalam hal akses, partisipasi, serta kontrol untuk laki-laki dan perempuan.
·         Pengertian Jender
Untuk memahami konsep jender kita harus bisa membedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki memiliki penis, memiliki jalaka (kala menjing), dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi ovum, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang juga permanen dan sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.
Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang diskonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang lemah lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dan sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan , yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, itulah yang dikenal dengan konsep gender.
Sejarah perbedaan gender (gender different) antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau cultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan. Seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa dipertukarkan lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan.
Perbedaan gender sesungguhnya tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Bentuk ketidakadilan gender termanifestasikan kedalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni: marginalisasi, atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (double burden).

·         Islam dan Jender
Sebagai agama terakhir yang diturunkan Allah, Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan agama-agama sebelumnya. Islam dibangun di atas landasan aqidah yang dihiasi dengan ibadah dan akhlak. Karakteristik itu memilki nilai-nilai filosofis, yaitu keadilan (al-‘adalah),persaman (al-musawah), dan persaudaraan (al-ukhuwwah). Dalam konteks ini karakteristik Islam tentang perempuan dapat dilihat sebagai berikut:
Pertama, agama Islam sangat menekankan persamaan derajat. Persamaan derajat yang diajarkan Islam tidaklah pragmatis - sesuatu yang baik untuk kepentingan sesaat – tetapi universal – sesuatu yang baik atas pertimbangan jangka panjang dan menyeluruh. Karena itu, misi Islam adalah menjadi agama rahmat bagi semua alam. Dengan kata lain, meski laki-laki dan perempuan memang memiliki perbedaan terutama dari anatomi tubuhnya, tetapi keduanya harus tetap mendukung dan melengkapi, sebagaimana firman Allah: “mereka (perempuan) adalah pakaian bagi laki-laki dan kaum (laki-laki) juga adalah pakain perempuan” (Qs. Al-Baqarah/2:187).
Persamaan derajat ini bermakna bahwa laki-laki dan perempuan berpeluang untuk mencapai derajat kemuliaan (takwa). Ketinggian derajat takwa tidak dapat diperoleh prestasi pendahuluan (ascribed status), tetapi semata-mata usaha diri sendiri (achieved status). Untuk itu, Allah menganugerahkan kepada mereka sejumlah potensi baik internal maupun eksternal agar digunakan sebaik mungkin. Perbedaan biologis hanyalah sekedar variasi sarana guna menuju kepada manusia paripurna. Dengan demikian, perbedaan anatomi tubuh jangan dijadikan legitimasi untuk melakukan diskriminasi dengan membentuk persepsi budaya yang merendahkan perempuan (in-feriority complex) dan menempatkan laki-laki pada posisi yang unggul (superiority complex).
Kedua, Islam adalah ajaran rasionali-simplistis. Rasional disini adalah tidak adanya pertentangan antara agama dengan akal. Tidak ada wilayah dalam Islam yang terlarang untuk dipikirkan kecuali dzat Allah. Lagi pula, temuan akal tidak dapat dianggap kebenaran mutlak, dan karena itu dapat berubah dari waktu ke waktu. Dalam konteks kesetaraan gender ini dengan jelas al-qur’an dan hadits member formulasi bahwa kedudukan kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki. Kedua-duanya sama-sama makhluk Allah. Namun, kaum perempuan hendaknya juga menyadari bahwa kesetaraan yang bersifat simbolik itu sulit ditemukan dalam dalam kehidupan sosial karena masing-masing dibentuk oleh tradisi dan lingkungan yang berbeda. Sedangkan maksud simplitis adalah bahwa ajaran Islam dapat diterima dan dipraktikkan dalam berbagai lapisan masyarakat. Semuanya sama-sama memiliki peluang untuk dekat dengan Tuhan tanpa membeda-bedakan status sosial.
Ketiga, seluruh ajaran Islam identik dengan kemajuan. Ajaran Islam berjalan berkelindang bersama dengan sejarah dan dalam sejumlah hal bahkan mendahului sejarah. Sejarah masa lalu dalam Islam bukanlah kembali ke masa lalu, tetapi bermakna agar manusia mengambil hikmah untuk memperbaiki masa-masa yang akan datang. Salah satu contoh,  ajaran tentang persamaan laki-laki dan perempuan. Ajaran ini tidak dimiliki agama-agama sebelum Islam. Karena itulah, dapat disimpulkan Islam merupakan agama yang mendunia (mondial) dan agama yang jauh melampaui kemajuan. 
b. Isu Pluralisme
·         Pengertian Pluralisme
Pluralisme berasal dari bahasa inggris : pluralism. Dari bahasa latin pluralis artinya jamak. Pluralisme dicirikan oleh keyakinan bahwa realitas fundamental bersifat jamak. [1] Pluralisme merupakan faham yang mengakui perbedaan dan keragaman dalam kehidupan.
Masalah pluralism penting dipelajari di Indonesia karena sebagian dari kebutuhan masyarakat Indonesia yang pluralis. Masalah pluralisme itu diantaranya pluralis di bidang agama, pluralis suku, pluralis ras, pluralis budaya dan semacamnya.[2] Pluralisme bisa menjadi sumber petaka atau sebaliknya bisa menjadi sumber kekuatan.
Pluralisme merupakan kunci penting untuk memahami realitas kehidupan. Realitas kehidupan merupakan hasil konstruksi, karena itu tidak mungkin ada realitas yang tunggal, tetapi plural. Sebab, setiap individu dan komunitas social memiliki konstruksi social sendiri – sendiri.[3]
·         Islam dan Pluralisme
Hubungan pluralism dan islam sangat menarik. Islam memandang pluralisme sebagai sebuah niscaya bahkan sunnatullah. Islam mengakui adanya pluralisme.[4]
Dalam Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 13 yang berbunyi :
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
13.  Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini menerangkan bahwa islam mengakui keberadaan dan keberagaman suku dan bangsa serta identitas – identitas agama selain agama islam (pluralism), namun tidak mengakui kebenaran agama – agama tersebut (pluralism).
Salah satu ciri – ciri perspektif islam adalah “realistis” (waqi’iyah), yakni sesuai dengan realitas dan menempatkan serta memperlakukan sebagaimana adanya. Oleh karena itu, Tauhid merupakan dasar segala dasar yang menentukan dan membentuk sikap Islam terhadap fenomena keragaman agama. [5]
Pluralitas adalah nerupakan “hukum” ilahi dan “sunnah” ilahiyah yang abadi di semua bidang kehidupan, sehingga pluralitas itu sendiri telah menjadi karakteristik utama makhluk Allah SWT. Pluralitas adalah “sunnah” dan “ayat” Allah SWT dalam buah – buahan, dalam hewan dan dalam semua jenis makhluk, bahkan dalam manusia, yang meliputi macamnya, afiliasinya, dan tingkat prestasinya dalam melaksanakan kewajiban. Pluralitas yaitu hakekat perbedaan dan keanekaragaman yang timbul semata karena memang adanya kekhususan dan karakteristik yang diciptakan Allah SWT.[6]
Berdasarkan keputusan Fatwa MUI no. 7/MUNASVII/MUI/II/2005, pengertian pluralism agama adalah suatu faham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative. Oleh sebab itu, setiap pemeluk tidak bleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Ketentuan hukum pluralism agama oleh MUI berbunyi :
Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksut diatas adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
Pluralisme agama adalah faham yang mengakui adanya keberagaman agama dan menerima ke-“lain”-an agama lain beserta haknya untuk berbeda dalam beragama dan berkeyakinan tetapi tidak mengakui kebenaran agama lain. Pluralisme bukan hanya sekedar hidup bersama yang tentram tetapi yang lebih penting adalah tumbuhnya kesadaran, pengakuan, dan penerimaan atas perbedaan dan keragaman yang ada. Pemahaman keagamaan yang pluralis memiliki konstribusi konkret dalam menumbuhkan toleransi dan saling pemahaman sehingga dapat menciptakan kehidupan yang damai tanpa konflik dan kekerasan.
Menurut teori Smart, mencatat terdapat 5 cara pandang atau sikap keagamaan dalam merespon kebhinekaan agama, yaitu :
1.      Ekslusivisme absolute : cara pandang keagamaan yang melihat kebenaran hanya terdapat pada tradisi sendiri, sedangkan agama orang lain dianggap tidak benar.
2.      Relativisme absolute : cara pandang keagamaan yang memandang bahwa berbagai sistem kepercayaan agama tidak dapat dibandingkan satu sama lain.
3.      Inklusivisme hegemonistik : cara pandang keagamaan yang melihat ada kebenaran pada agama orang lain tetapi prioritas agama sendiri.
4.      Pluralisme realistic : cara pandang keagamaan yang melihat bahwa semua agama sebagai jalan yang berbeda – beda dari satu kebenaran yang sama.
5.      Pluralisme regulative: cara pandang keagamaan yang melihat sementara agama memiliki nilai – nilai dan kepercayaan masing – nasing yang mengalami suatu evolusi historis dan perkembangan kearah suatu kebersamaan bersama.
Al-Qur’an memiliki respon juga terhadap Pluraliyas agama. Respon tersebut diantaranya[7] :
1.      Penolakan Al-Qur’an terhadap ekslisuvisme dan klaim kebenaran.
2.      Ajakan untuk senantiasa mencari titik temu.
3.      Pengakuan yang sama terhadap para nabi





[1] Dualmode.kemenag.go.id/file/document/MSI9.pdf. 1/10/2012.6.50 PM
[2] Nasution, Khoirudin. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta.Academica. (hal. 258)
[3] Naim, Ngainun. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta. Teras. (hal. 134)
[4] Sutarwan Waffa, Mahmud. 2011. Menguak Pluralisme dan Komunisme dibalik Film – Film Hanung Bramantyo. Sarang. Ribath Darussohihain. (hal.169)
[5] Malik, Anis Toha. 2007. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta. Gema Insani. (hal. 206)
[6] Ibid (hal.207)
[7] Dualmode.kemenag.go.id/file/document/MSI9.pdf. 1/10/2012.6.50 PM

Tidak ada komentar: