FUNGSI HADITS DALAM AJARAN ISLAM
I. PENDAHULUAN
B. Latar Belakang Masalah
Allah
SWT menutup risalah samawiyah dengan risalah islam. Dia mengutus Nabi
SAW sebagai Rasul yang memberikan petunjuk, menurunkan Al-qur`an
kepadanya yang merupakan mukjizat terbesar dan memerintahkan kepadanya
untuk menyampaikan dan menjelaskannya.
Al-qur`an
merupakan dasar syariat, karena merupakan kalamullah yang mengandung
mu`jizat, yang diturunkan kepada Rasul SAW. Melalui malaikat Jibril
mutawatir lafadznya baik secara global maupun rinci, dianggap ibadah
dengan membacanya dan tertulis di dalam lembaran lembaran.
Dalam
hukum islam, hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-qur`an .
penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu Al
qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul).
Al
qur`an menunjuk nabi sebagai orang yang harus menjelaskan kepada
manusia apa yang diturunkan Allah, karena itu apa yang disampaikan Nabi
harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani kaum
muslimin.
Sejak
masa sahabat sampai hari ini, para ulama’ telah bersepakat untuk
menetapkan hukum berdasarkan sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan
petunjuk operasional. Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat
pula dengan kenyataan bahwa Al-qur`an hanya memberikan garis- garis
besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih
lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia.
Dalam makalah ini akan kami sampaikan tentang fungsi-fungsi hadits yang mana menjadi sumber ajaran islam setelah Al-Qur’an.
C. Rumusan Masalah
1. Apa saja fungsi hadits dalam ajaran islam?
2. Bagaimana pendapat para ulama’ tentang fungsi hadits?
II. PEMBAHASAN
A. Fungsi Hadits dalam Ajaran Islam
Al-Qur’an
dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam,
antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.[1] al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama,
banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat global, yang perlu dijelaskan
lebih lanjut dan terperinci. Oleh karena itulah kehadiran hadits,
sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 44, yaitu :
وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون
“…….
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir.”
Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan. Keterkaitan keduanya tampak antara lain:
1. Hadist
menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi
memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran.
Misalnya, Al-quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :
“Hai
orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (QS AL-BAQARAH:183)
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut:
Islam
didirikan atas lima perkara: “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayar
zakat, puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah”. (HR Bukhari dan Muslim)
2. Hadits
memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat
global. Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat :
“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (QS Al- Baqarah: 110)
Shalat
dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya
shalat yang wajib dan sunat. Sabda Rasulullah SAW:
Dari
Thalhah bin Ubaidillah: Bahwasanya telah datang seorang Arab Badui
kepada Rasulullah SAW dan berkata:“Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku
salat apa yang difardukan untukku?” Rasul berkata: “Salat lima waktu,
yang lainnya adalah sunnat”. (HR Bukhari dan Muslim)
3. Al-qur`an
tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun
gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya
sabda Rasulullah SAW:
“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. (HR Bukhari)
4. Hadits membatasi kemutlakan ayat Al-Qur`an, misalnya Al-Qur`an mensyariatkan wasiat:
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut
dan dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak
karib kerabatnya secara makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang
yang bertakwa”. (QS Al Baqarah:180)
Hadits
memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak
melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal
ini disampaikan Rasul dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim:
“Dari
Sa`ad bin Abi Waqash yang bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah
pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah melarang memberikan
seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga dari
jumlah harta yang ditinggalkan”
5. Hadits
memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat
umum. Misalnya Al-Qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah.
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih
atas nama selain Allah, yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, yang dimakan binatang buas (kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya), dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula
bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan”. (QS Al Maidah: 5)
Hadits
memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai
tertentu (bangkai ikan dan belalang) dan darah tertentu (hati dan limpa)
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Dari
Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua
bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan
dua darah adalah hati dan limpa”. (HR.Ahmad, Syafii`, Ibn Majah, Baihaqi dan Daruqutni)
6. Hadits
menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur`an. Al-Qur`an
bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .
Dalam hal ini, hadits berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan
oleh Al-qur`an, misalnya hadits dibawah ini:
“Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang bercakar”. (HR. Muslim dari Ibn Abbas)
B. Perbedaan Pendapat Para Ulama tentang Fungsi Hadits
Fungsi hadits sebagai penjelas terhadap al-Qur’an itu bermacam-macam. Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan at-taqrir, bayan at-tafsir, bayan at-tafshil, bayan al-basth, bayan at-tasyri’. As-Syafi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan at-tafshil, bayan at-takhshish, bayan at-ta’yin, bayan at-tasyri’ dan bayan an-nasakh. Dalam “ar-Risalah” ia menambahkan dengan bayan al-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri, dan bayan al-takhsish.
1. Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang
dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang
telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya
memperkokoh isi kandungan al-Qur’an.
2. Bayan al-Tafsir
Bayan
al-tafsir adalah bahwa hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan
penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global
(mujmal), mamberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an
yang bersifat mutlaq, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat
al-Qur’an yang masih bersifat umum.
3. Bayan at-Tasyri’
Kata
at-tasyri’ artinya ialah, pembuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan
atau hukum. Maka yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ disini, ialah
penjelasan hadits yang berupa mewujudkan, mengadakan, atau menetapkan
suatu hukum, atau aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam
al-Qur’an.
Hadits
Nabi SAW. dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’li maupun
taqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai
persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Ia berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang
tidak diketahuinya, dengan menunjukkan bimbingan dan menjelaskan duduk
persoalannya.
Hadits Nabi SAW yang termasuk bayan at-tasyri’, wajib diamalkan sebagaimana
kewajiban mengamalkan hadits-hadits lainnya. Ibnu al-Qayyim berkata,
bahwa hadits-hadits Nabi SAW. yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an,
merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak
atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Nabi SAW) mendahului
al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah Nya.
4. Bayan an-Nasakh
Kata
an-nasakh secara bahasa, mempunyai banyak arti. Bisa berarti al-Ibthal
(membatalkan/menghapuskan), atau al-izalah (menghilangkan), atau an-naql
(penukilan/penyalinan), atau at-taghyir (mengubah).
Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini banyak yang melalui
pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat
dalam menta’rifkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama
mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin. Menurut pendapat yang dapat
dipegang dari ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena ada
dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas,
karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan
lagi, dan Syari’ (pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak
diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).
Intinya
ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang
terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas. Hadits sebagai
ketentuan yang datang kemudian daripada al-Qur’an dalam hal ini dapat
menghapus ketentuan atau isi kandungan al-Qur’an. Demikian menurut
pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-nasakh.
Diantara
para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadits terhadap al-Qur’an
juga berbeda pendapat dalam macam hadits yang dapat dipakai untuk me-nasakh –nya. dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok:
a) Kelompok
yang membolehkan menasakh al-Qur’an dengan segala hadits , meskipun
dengan hadits ahad. Pendapat ini dikemukakan oleh para ulama
mutaqaddimin dan ibn hazm serta sebagian pengikut zhahiriah.
b) Kelompok yang membolehkan menasakh dengan syarat, bahwa hadits tersebut harus mutawatir. Pendapat kaum Mu’tazilah.
c) Ulama yang membolehkan menasakh dengan hadits masyhur, tanpa dengan hadits mutawatir. Diantara ulama yang memegang pendapat ini adalah ulama Hanafiah.
Sementara
yang menolak naskh jenis ini adalah as-Syafi’i dan sebagian besar
pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadits yang mutawatir.
Kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar pengikut madzhab
Zhahiriyah dan kelompok Khawarij.