/* Kotak Banner ===================== */ #Box-Banner-ads { margin: 0px; padding: 5px; text-align: center; } #Box-Banner-ads img { margin: 0px 8px 4px 0px; padding: 3px; text-align: center; border: 3px outset #c0c0c0; } #Box-Banner-ads img:hover { margin: 0px 8px 4px 0px; padding: 3px; text-align: center; border: 3px inset #333; }

Selasa, 08 Oktober 2013

Fungsi Hadits Dalam Ajaran Islam



FUNGSI HADITS DALAM AJARAN ISLAM
I.     PENDAHULUAN
B.     Latar Belakang Masalah
Allah SWT menutup risalah samawiyah dengan risalah islam. Dia mengutus Nabi SAW sebagai Rasul yang memberikan petunjuk, menurunkan Al-qur`an kepadanya yang merupakan mukjizat terbesar dan memerintahkan kepadanya untuk menyampaikan dan menjelaskannya.
Al-qur`an merupakan dasar syariat, karena merupakan kalamullah yang mengandung mu`jizat, yang diturunkan kepada Rasul SAW. Melalui malaikat Jibril mutawatir lafadznya baik secara global maupun rinci, dianggap ibadah dengan membacanya dan tertulis di dalam lembaran lembaran.
Dalam hukum islam, hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-qur`an . penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu Al qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul).
Al qur`an menunjuk nabi sebagai orang yang harus menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan Allah, karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani kaum muslimin.
Sejak masa sahabat sampai hari ini, para ulama’ telah bersepakat untuk menetapkan hukum berdasarkan sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-qur`an hanya memberikan garis- garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia.
Dalam makalah ini akan kami sampaikan tentang fungsi-fungsi hadits yang mana menjadi sumber ajaran islam setelah Al-Qur’an.
C.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja fungsi hadits dalam ajaran islam?
2.      Bagaimana pendapat para ulama’ tentang fungsi hadits?


II.     PEMBAHASAN
A.  Fungsi Hadits dalam Ajaran Islam
Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.[1] al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama, banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat global, yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Oleh karena itulah kehadiran hadits, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 44, yaitu :
وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون

“……. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir.”

Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan. Keterkaitan keduanya tampak antara lain:
1.      Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya, Al-quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (QS AL-BAQARAH:183)
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut:
Islam didirikan atas lima perkara: “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah”. (HR Bukhari dan Muslim)
2.    Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global. Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat :
“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (QS Al- Baqarah: 110)
Shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang wajib dan sunat. Sabda Rasulullah SAW:
Dari Thalhah bin Ubaidillah: Bahwasanya telah datang seorang Arab Badui kepada Rasulullah SAW dan berkata:“Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang difardukan untukku?” Rasul berkata: “Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat”. (HR Bukhari dan Muslim)
3.    Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda Rasulullah SAW:
“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. (HR Bukhari)       
4.    Hadits membatasi kemutlakan ayat Al-Qur`an, misalnya Al-Qur`an mensyariatkan wasiat:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib kerabatnya secara makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa”. (QS Al Baqarah:180)
Hadits memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
“Dari Sa`ad bin Abi Waqash yang bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan”
5.    Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat umum. Misalnya Al-Qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah.
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain Allah, yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang buas (kecuali yang sempat kamu menyembelihnya), dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan”. (QS Al Maidah: 5)
Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu (bangkai ikan dan belalang) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan limpa”. (HR.Ahmad, Syafii`, Ibn Majah, Baihaqi dan Daruqutni)
6.    Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur`an. Al-Qur`an bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti . Dalam hal ini, hadits berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadits dibawah ini:
“Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang bercakar”. (HR. Muslim dari Ibn Abbas)

B.  Perbedaan Pendapat Para Ulama tentang Fungsi Hadits
Fungsi hadits sebagai penjelas terhadap al-Qur’an itu bermacam-macam. Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan at-taqrir, bayan at-tafsir, bayan at-tafshil, bayan al-basth, bayan at-tasyri’. As-Syafi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan at-tafshil, bayan at-takhshish, bayan at-ta’yin, bayan at-tasyri’ dan bayan an-nasakh. Dalam “ar-Risalah” ia menambahkan dengan bayan al-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri, dan bayan al-takhsish.
1.    Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an.
2.    Bayan al-Tafsir
Bayan al-tafsir adalah bahwa hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), mamberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlaq, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
3.    Bayan at-Tasyri’
Kata at-tasyri’ artinya ialah, pembuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ disini, ialah penjelasan hadits yang berupa mewujudkan, mengadakan, atau menetapkan suatu hukum, atau aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam al-Qur’an.
Hadits Nabi SAW. dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’li maupun taqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan menunjukkan bimbingan dan menjelaskan duduk persoalannya.
Hadits Nabi SAW yang termasuk bayan at-tasyri’, wajib diamalkan sebagaimana kewajiban mengamalkan hadits-hadits lainnya. Ibnu al-Qayyim berkata, bahwa hadits-hadits Nabi SAW. yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Nabi SAW) mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah Nya.
4.    Bayan an-Nasakh
Kata an-nasakh secara bahasa, mempunyai banyak arti. Bisa berarti al-Ibthal (membatalkan/menghapuskan), atau al-izalah (menghilangkan), atau an-naql (penukilan/penyalinan), atau at-taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin. Menurut pendapat yang dapat dipegang dari ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena ada dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan Syari’ (pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).
Intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas. Hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada al-Qur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan al-Qur’an. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-nasakh.
Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadits terhadap al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam macam hadits yang dapat dipakai untuk me-nasakh –nya. dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok:
a)      Kelompok yang membolehkan menasakh al-Qur’an dengan segala hadits , meskipun dengan hadits ahad. Pendapat ini dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan ibn hazm serta sebagian pengikut zhahiriah.
b)      Kelompok yang membolehkan menasakh dengan syarat, bahwa hadits tersebut harus mutawatir. Pendapat kaum Mu’tazilah.
c)      Ulama yang membolehkan menasakh dengan hadits masyhur, tanpa dengan hadits mutawatir. Diantara ulama yang memegang pendapat ini adalah ulama Hanafiah.
Sementara yang menolak naskh jenis ini adalah as-Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadits yang mutawatir. Kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar pengikut madzhab Zhahiriyah dan kelompok Khawarij.

Kritik Sanad Dan Matan

1.      Pengertian  Penelitian Sanad dan Matan Hadits
Kata penelitian (kritik) dalam ilmu hadis sering dinisbatan pada kegiatan penelitian hadis yang disebut dengan al Naqd yang secara etimologi adalah bentuk masdar dari naqada yanqudu yang berarti mayyaza, yaitu memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk Kata al Naqd berarti “kritik” seperti dalam literatur Arab yang berarti “ mengeluarkan kesalahan atau kekeliruan dari sebuah kalimat. Di dalam ilmu Hadis, al Naqd berarti memisahkan hadist-hadits yang shahih dari dha’if, dan menetapkan para perawinya yang tsiqat dan yang jarh.
Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa , dari segi sanada-yasnudu yang berarti mu’tamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya, atau yang sah). Dikatakan demikian, karena Hadits itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenarannya. Sedangkan secara terminologis definisi sanad ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi sebuah hadits. Sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasulullah SAW.[1]
Yang dimaksud dengan matan ialah pembicaraan atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir baik pembicaraan itu sabda Rasulullah SAW, sahabat, ataupun tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi. [2]
Kritik Hadis sudah dimulai sejak pada masa Nabi Muhammad, tapi pada tahap ini , arti kritik tidak lebih dari menemui Nabi saw dan mengecek kebenaran dari riwayat (kabarnya) berasal dari beliau. Dan pada tahap ini juga, kegiatan kritik Hadis tersebut sebenarnya hanyalah merupakan konfirmasi dan suatu proses konsolidasi agar hati menjadi tentram dan mantap. Oleh karena itu kegiatan kritik hadis pada masa nabi sangat simple dan mudah, karena keputusan tentang otentisitas suatu hadis ditangan nabi sendiri. Lain halnya dengan masa sesudah nabi wafat maka kritik Hadis tidak dapat dilakukan dengan menanyakan kembali kepada nabi melainkan dengan menanyakan kepada sahabat, tabiin, dst.
2.      Kaidah Dan Langkah Kegiatan Kritik Sanad Dan Matan Hadits
a.        Kaidah-Kaidah Mayor Kritik Sanad
Kaidah kritik sanad dapat di ketahui dari pengartian istilah hadis sahih. Menurutnya ulama hadis misalnya ibnu Al-shalah(W.643H), hadis sahih ialah :
 “ hadis yang bersambung sanadnya( sampai ke nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan zabit sampai akhir sanad, ( didalam hadis itu)), tidak terdapat kejanggalan (syuzus dan illat).”
Dari pengertian istilah tersebut, dapat di uraikan unsur-unsur hadis sahih menjadi:
1.         Muttashil (Sanad bersanbung)
2.         Periwayat bersifat adil.
3.         Periwayat bersifat zabit.
4.         Dalam hadis itu tidak ada kejanggalan (syudzudz)
5.         Dalam hadis itu tidak ada cacat (illat).
Ketiga unsur yang disebutkan pertama berkenaan dengan sanad, sedangkan  dua Unsur berikutnya berkenaan dengan sanad dan matan.
Dengan demikian, unsur-unsur yang termasuk persyaratan umum kaidah kesahihan hadis  yakni lima macam berkaitan dengan sanad. Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad di atas sesungguhnya dapat di daptkan menjaditiga unsur saja, yakni unsur-unsur terhindar dari syuzus dan terhindar dari illat di masukan pada unsure pertama dan ketiga.
b.       Kaidah-Kaidah Minor Dalam Kritik Sanad
Apabila masing-masing unsure kaidah mayor bagi kesahihan sanad disertakan unsur-unsur kaidah minornya, maka dapat dikemukakan butir-butirnya sebagai berikut :
1.    Unsur kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsur-
Unsur kaidah minor :
a.       Muttasil ( bersambung )
b.       Marfu’ ( bersandar kepada Nabi, SAW)
c.        Mahfuz ( terhindar dari syuzus )
d.      Bukan mual (bercacat)
2.    Unsur kaidah mayor yang kedua, periwayat bersifat adil, mengandung unsur-
unsur kaidah minor :
a.        Beragama islam
b.       Mukalaf (balig dan berakal sehat)
c.        Melaksanakan ketentuan agama islam
d.       Memelihara muruah ( adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegakknya kebajikan moral dan kebiasaan- kebiasaan).
3.    Unsur kaidah mayor yang ketiga, periwayat bersifat zabit dan atau azbat, mengandung unsur- unsur kaidah minor :
a.       Hapal dengan baik hadis yang diriwayatkannya.
b.      Mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadis yang dihapalnya kepada orang lain.
c.       Terhindar syudzudz
d.       Terhindar dari illat.
Dengan acuan kaidah mayor dan kaidah minor bagi sanad tersebut maka penelitian sanad hadis dilaksanakan. Sepanjang semua unsur diterapkan secara benar dan cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat akurasi yang tinggi. [3]
3.      Langkah-Langkah Kegiatan Dalam Kritik Sanad Hadits
Dr. Syuhudi Isma’īl dalam buku beliau yang berjudul “Metodologi penelitian Hadits Nabi” menguraikan ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam melakukan suatu kritikan terhadap sanad suatu hadits, yaitu sebagai berikut :
a.      Melakukan I’tibar
   Arti dan Kegunaan I’tibar :
Kata al-I’tibar adalah masdhar dari kata i’tabara yang menurut bahasa berarti peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang sejenis.
Sedangkan menurut istilah ilmu hadits, I’tibar adalah menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits tertentu yang hadits itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadits yang dimaksud.
Kegunaan I’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadits seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus muttabī atau syāhid. Dengan adanya I’tibar ini maka akan diketahui apakah hadits yang diteliti itu memiliki muttabī dan syāhid ataukah tidak.
2.       Pembuatan Skema Sanad
Untuk mempermudah proses kegiatan I’tibar itu diperlukan adanya pembuatan skema untuk seluruh sanad untuk hadits yang akan diteliti. Ada 3 hal yang harus diperhatikan :
a.       Jalur seluruh sanad,
b.      Nama-nama periwayat untuk seluruh sanad
c.       Metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.
4.      Perlunya Penelitian Sanad dan Matan Hadits
Penelitian terhadap sanad dan matan hadits bukan karena hadits itu diragukan otentisinitasnya. Hadits, secara keseluruhan merupaka sumber ajaran setelah Al Quran yang sudah menjadi pola amaliyah masyarakat dan tidak diragukan kebearannya. Penelitian ini dilakukan untuk menyaring unsur-unsur luar yang masuk ke dalam hadits, baik yang disengaja ataupun tidak. Maka, dengan penelitian terhadap kedua unsur diatas, hadits-hadits Rasulullah SAW dapat terhindar dari segala yang mengotorinya. Faktor yang paling utama perlunya dilakukan penelitian ini ada empat hal, yaitu:
a.       Hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam
b.      Beredarnya hadits-hadits palsu pada jalangan masyarakat
c.       Hadits-hadits tidak ditulis secara resmi pada masa Rasul SAW
d.      Proses penghimpunan hadits[4]
Beredarnya hadits Maudhu’i ke dalam kehidupan keagamaan masyarakat, yang kurang diketahui oleh masyarakat awam, meskipun tidak semuanya dimaksudkan untuk merusak agama, cukup menganggu kemurnian hadits dan dapat meresahkan masyarakat. Apalagi jika maknanya benar-benar bertentangan dengan nash-nash lain dan mengacaukan pemahaman serta aqidah masyarakat.
Dewasa ini muncul persoalan lain, munculnya kitab-kitab yang diantaranya memuat hadits-hadits lemah dan tidak jelas sumbernya, yang terkadang diminati masyarakat. Atau bahkan dalam tradisi lisan masyarakat terkadang menggunakan kata-kata pepatah arab atau kata-kata bijak yang dianggapnya hadits. Hal ini pun menuntut perlunya upaya penelitian hadits secara cermat.
Dari gambaran diatas menunjukkan secara jelas, bahwa Hadits Rasul SAW perlu dijaga dari upaya-upaya yang melemahkannya dan disaring dari tercampurnya dengan Hadits Al Maudhu’i. Ini artinya, segala matan hadits yang beredar perlu diteliti siapa pembawanya, bagaimana silsilah sanadnya, dan bagaimana isi kandungan haditsnya. Dengan inisiatif Umar bin Abdul Aziz dan pra Ulama’ abad kedua dan ketiga hijriah untuk membukukan hadits secara resmi., semakin jelas dan mendesak lagi perlunya kegiatan penelitian ini. begitu juga bagi para ulama yang berusaha membukukan hadits sesuda periode mudawwin pertama. Karena dipandang masih adanya hadits-hadits sahih yang belum terjaring , seperti yang dilakukan oleh Al Hakim. Dengan kata lain, disini perlunya kajian sanad dan matan itu dilakukan. [5]

Analisis Pengertian Hadits, Sunah

  1. PEMBAHASAN
Dalam pembahasan ini pemakalah akan lebih mencermati pengertian Hadits, as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar serta perbedaan-perbedaan para ulama baik ulama Hadits, ulama Ushul, dan ulama Fiqh dalam merumuskan masing-masing definisi tersebut di atas. Selain itu juga mengungkapkan perbedaan antara Hadits dengan as-Sunnah, Hadits dengan al-Khabar dan al-Atsar.
a.  Pengertian Hadits
Kata “Hadits” atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Dalam hal ini, Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar, dalam firman-Nya;
فليأتوا بحديث مثله إن كانوا صادقين.
Artinya : “maka hendaklah mereka mendatangkan khabar yang sepertinya jika mereka orang yang benar” (QS. At Thur; 24).
Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam  memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda.
  1. 1.      Ada yang mendefinisikan hadits, adalah :                                                                      أَقْوَالُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَفْعَالُهُ وَاَحْوَالُهُ 
                   “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya”.
3
Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk “hal ihwal”, ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya.
  1. Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan : “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya”.
  2. Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut : “Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya”.
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits
dalam mendefinisikan hadits.
a)      Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah; hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan.
b)      Perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
  أقواله وافعاله وتقريراته التي تشبت الا حكا م تقرّرها
       “Segala perkataan Nabi SAW. Perbuatan dan takrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya “.
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan.
Persamaannya yaitu ; “memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat atau tabi’in.
4
Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara’.
b.  Pengertian as-Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti :
الطَّرِيْقَةُ مَحْمُوْدَةً كَانَتْ أَوْ مَذْمُوْمَةً
 “Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelek”.
Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa, perhatikan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut :
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئٌ وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَرِهِمْ شَيْئٌ (رواه مسلم)
“Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan setelahnya dengan tidak dikurangi pahala sedikitpun. Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya setelahnya dengan tidak dikurangi dosanya sedikitpun”. (H.R. Muslim).
5
Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW, dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.
Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara’, maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW, baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah al-Qur’an dan Hadits.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits merumuskan pengertian sunnah sebagai berikut :
“Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya”.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian ulama sama dengan kata hadits. “Ulama yang mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW, sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara’ atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.
6
Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah “segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum”. Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut :
تركت فيكم أمرين ان تمسّكتم بهما لن تضلوا ابدا كتاب الله وسنّة رسوله
“Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya” (H.R.Malik).
Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena ulama hadits memandang Nabi SAW, sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan suri teladan bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”.
Ulama Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW, baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad SAW, sebagai Musyarri’, artinya pembuat undang-undang wetgever di samping Allah. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
وما اتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا
“Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa
yang dilarang oleh Rasul jauhilah”.

7
Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah “perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut
apabila ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
c.  Pengertian Khabar
Selain istilah Hadits dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Atsar. Khabar menurut lughat, sesuatu yang mungkin benar dan bohong.
Menurut istilah khobar mempunyai beberapa pengertian
  1. Serupa dengan makna hadits,  lughotan, yaitu segala berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.
  2. Sesuatu yang bersumber dari selain Nabi SAW
  3. Menurut sebagian ulama ahli hadits, khobar sama artinya dengan hadits. Keduanya dapat dipakai untuk sesuatu marfu’ ,  mauquf dan maqthu’. Mencakup segala yang datang dari nabi SAW, sahabat dan tabi’in baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.
d.  Pengertian Atsar
Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. “Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu.
e.  Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar
8
Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.
Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun ulama ushul dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
(a) Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
(b) Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. “Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar”.
(c) Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi’in. “Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (hadits marfu)”. Dengan demikian, Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in.