islam adalah agama yang di bawa oleh nabi muhammad saw sebagai petunjuk bagi seluruh alam.
ekologi adalah ilmu tentang hubungan tentang timbal balik antara manusia dengan alam.
di masa-masa modern ini, telah banyak terjadi krisi ekologi , namun sudah sejak jaman dahulu pula islam telah mengajarkan bagaimana manusia berhubungan dengan alam.
Islam dan Problematika Sosial
ekologi adalah ilmu tentang hubungan tentang timbal balik antara manusia dengan alam.
di masa-masa modern ini, telah banyak terjadi krisi ekologi , namun sudah sejak jaman dahulu pula islam telah mengajarkan bagaimana manusia berhubungan dengan alam.
Islam dan Problematika Sosial
Dari pada sekedar merespon fenomena teologis, agama
sesungguhnya lebih berperan besar dalam mersepon fenomena sosiologis. Artinya,
agama kerap diturunkan melalui seorang hamba Tuhan yang disebut nabi seiring
dengan konteks sosial di mana sang nabi tersebut dirisalahkan. Nabi Muhammad
misalnya, hadir membawa ajaran Islam empat belas abad yang lalu untuk merespon
fenomena kehidupan sosial masyarakat Arab ketika itu yang hidup dalam kondisi “jahiliyah”.
Jika ajaran yang disampaikan nabi Muhammad sampai hari ini disepakati sebagai
ajaran Islam, dan dalam perjalanannya Islam awal hadir untuk merespon
masyarakat jahiliyah Arab sebagai gejala sosial ketika itu, maka
pertanyaan yang mungkin dapat dikedepankan adalah: bagaimana posisi Islam dalam
merespon problematika sosial saat ini?.
Terma problematika sosial sesunggunhya menjadi term
yang dapat dibincangkan dari berbagai aspek: budaya, politik, ekonomi dan
aspek-aspek lainnya. Meski demikian, pembicaraan mengenai problematika sosial
agaknya lebih cendrung diarahkan pada aspek perekonomian masyarakat seperti
masalah kemiskinan yang memiliki integrasi dengan konsep zakat di dalam Islam.
Setidaknya inilah salah satu aspek yang sering disoroti beberapa tokoh ketika
membicarakan Islam dan problematika sosial, sehingga kadang kala kita hampir
melupakan aspek-aspek lain yang juga penting dibincangkan sebagai fenomena
kontemporer.
Kemiskinan sebagai problem sosial pada prinsipnya
telah mendapatkan jawaban yang jelas dalam ajaran Islam dengan konsep zakat,
infak dan sedekah. Namun demikian, jika kita mencoba keluar dari persoalan ini
menuju persoalan lain yang pada dasarnya juga menjadi persoalan yang dapat
disoroti sebagai problematika sosial, seperti mengenai pluralisme misalnya,
pembicaraan akan menuai kontroversi yang cukup akut. Pembicaraan lain yang
masih dirasa hangat, setidaknya di Indonesia, sebagai persoalan yang juga masih
dapat ditafsirkan sebagai problematika sosial adalah soal kebebasan beragama
dan berkeyakinan. Bukankah persoalan-persoalan yang baru disebutkan merupakan
sebuah perwajahan dari problematika sosial yang dihadapi umat Islam (Indonesia)
saat ini?.
Ada sebuah stigma yang terbangun di tengah
masyarakat pada umumnya, bahwa orang-orang muslim memiliki jiwa solidaritas
yang begitu tinggi terhadap saudaranya seiman dan sekeyakinan. Namun orang
orang muslim, agaknya sulit bernegosiasi untuk komunitas yang berada di luar
keyakinannya (non-muslim). Tentu stigma semacam ini tidak dapat digeneralisasi
sebagai argumentasi untuk menyebutkan Islam sebagai demikian adanya. Sebab
dalam faktanya kita masih dapat menemukan Islam yang berwajah ramah di tengah
fenomena Islam yang berwajah “amarah”. Jika ditinjau dari sumber-sumber utama
ajaran Islam sekalipun kita dapat menemukan Islam yang benar-benar menjadi“rahmat
bagi seluruh alam” dari pada sekedar “azab bagi sebagaian alam”. Sehingga wajar
jika seorang tokoh pernah mengatakan: orang-orang dari kalangan non-muslim
kecil kemungkinan untuk dapat masuk/memeluk Islam jika melihat fenomena yang
ditunjukkan umatnya, tapi kebanyakan dari mereka masuk/memeluk Islam karena
mempelajari sumbernya (Al Qur’an).
Diterbitkannya buku kontroversial Fikih Lintas
Agama oleh tim penulis Paramadina beberapa tahun lalu pada dasarnya
merupakan sebuah karya bijak untuk merespon problematika sosial yang dihadapi
umat Islam kontemporer dalam hubungannya dengan komuntas keagamaan lain. Bahwa
fikih klasik yang dirumuskan ulama-ulama terdahulu memang kurang terbuka bagi
komunitas keagamaan lain merupakan fakta yang tidak terbantah, sehingga kita
butuh sebuah tafsir baru atas fikih yang lebih inklusif dan pluralis. Namun
demikian, buku yang kita anggap sebagai karya bijak tersebut ternyata belum
mampu diterima oleh masyarakat Islam secara luas, sehingga pencerahan yang
dapat ditemukan pada buku tersebut tidak memiliki andil untuk mengisi dimensi
Islam di Indonesia. Buku ini dilarang beredar karena dikhawatirkan akan
meracuni pikiran umat, sehingga buku ini hanya dapat ditemukan di kantung
mereka yang berani terbuka untuk wacana-wacana keislaman baru yang lebih segar.