/* Kotak Banner ===================== */ #Box-Banner-ads { margin: 0px; padding: 5px; text-align: center; } #Box-Banner-ads img { margin: 0px 8px 4px 0px; padding: 3px; text-align: center; border: 3px outset #c0c0c0; } #Box-Banner-ads img:hover { margin: 0px 8px 4px 0px; padding: 3px; text-align: center; border: 3px inset #333; }

Rabu, 24 Agustus 2016

islam dan tantangan krisis ekologi

       islam adalah agama yang di bawa oleh nabi muhammad saw sebagai petunjuk bagi seluruh alam.
ekologi adalah ilmu tentang hubungan tentang timbal balik antara manusia dengan alam.

di masa-masa modern ini, telah banyak terjadi krisi ekologi , namun sudah sejak jaman dahulu pula islam telah mengajarkan bagaimana manusia berhubungan dengan alam.

Islam dan Problematika Sosial
Dari pada sekedar merespon fenomena teologis, agama sesungguhnya lebih berperan besar dalam mersepon fenomena sosiologis. Artinya, agama kerap diturunkan melalui seorang hamba Tuhan yang disebut nabi seiring dengan konteks sosial di mana sang nabi tersebut dirisalahkan. Nabi Muhammad misalnya, hadir membawa ajaran Islam empat belas abad yang lalu untuk merespon fenomena kehidupan sosial masyarakat Arab ketika itu yang hidup dalam kondisi “jahiliyah”. Jika ajaran yang disampaikan nabi Muhammad sampai hari ini disepakati sebagai ajaran Islam, dan dalam perjalanannya Islam awal hadir untuk merespon masyarakat jahiliyah Arab sebagai gejala sosial ketika itu, maka pertanyaan yang mungkin dapat dikedepankan adalah: bagaimana posisi Islam dalam merespon problematika sosial saat ini?.
Terma problematika sosial sesunggunhya menjadi term yang dapat dibincangkan dari berbagai aspek: budaya, politik, ekonomi dan aspek-aspek lainnya. Meski demikian, pembicaraan mengenai problematika sosial agaknya lebih cendrung diarahkan pada aspek perekonomian masyarakat seperti masalah kemiskinan yang memiliki integrasi dengan konsep zakat di dalam Islam. Setidaknya inilah salah satu aspek yang sering disoroti beberapa tokoh ketika membicarakan Islam dan problematika sosial, sehingga kadang kala kita hampir melupakan aspek-aspek lain yang juga penting dibincangkan sebagai fenomena kontemporer.
Kemiskinan sebagai problem sosial pada prinsipnya telah mendapatkan jawaban yang jelas dalam ajaran Islam dengan konsep zakat, infak dan sedekah. Namun demikian, jika kita mencoba keluar dari persoalan ini menuju persoalan lain yang pada dasarnya juga menjadi persoalan yang dapat disoroti sebagai problematika sosial, seperti mengenai pluralisme misalnya, pembicaraan akan menuai kontroversi yang cukup akut. Pembicaraan lain yang masih dirasa hangat, setidaknya di Indonesia, sebagai persoalan yang juga masih dapat ditafsirkan sebagai problematika sosial adalah soal kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bukankah persoalan-persoalan yang baru disebutkan merupakan sebuah perwajahan dari problematika sosial yang dihadapi umat Islam (Indonesia) saat ini?.
Ada sebuah stigma yang terbangun di tengah masyarakat pada umumnya, bahwa orang-orang muslim memiliki jiwa solidaritas yang begitu tinggi terhadap saudaranya seiman dan sekeyakinan. Namun orang orang muslim, agaknya sulit bernegosiasi untuk komunitas yang berada di luar keyakinannya (non-muslim). Tentu stigma semacam ini tidak dapat digeneralisasi sebagai argumentasi untuk menyebutkan Islam sebagai demikian adanya. Sebab dalam faktanya kita masih dapat menemukan Islam yang berwajah ramah di tengah fenomena Islam yang berwajah “amarah”. Jika ditinjau dari sumber-sumber utama ajaran Islam sekalipun kita dapat menemukan Islam yang benar-benar menjadirahmat bagi seluruh alam” dari pada sekedar “azab bagi sebagaian alam”. Sehingga wajar jika seorang tokoh pernah mengatakan: orang-orang dari kalangan non-muslim kecil kemungkinan untuk dapat masuk/memeluk Islam jika melihat fenomena yang ditunjukkan umatnya, tapi kebanyakan dari mereka masuk/memeluk Islam karena mempelajari sumbernya (Al Qur’an).
Diterbitkannya buku kontroversial Fikih Lintas Agama oleh tim penulis Paramadina beberapa tahun lalu pada dasarnya merupakan sebuah karya bijak untuk merespon problematika sosial yang dihadapi umat Islam kontemporer dalam hubungannya dengan komuntas keagamaan lain. Bahwa fikih klasik yang dirumuskan ulama-ulama terdahulu memang kurang terbuka bagi komunitas keagamaan lain merupakan fakta yang tidak terbantah, sehingga kita butuh sebuah tafsir baru atas fikih yang lebih inklusif dan pluralis. Namun demikian, buku yang kita anggap sebagai karya bijak tersebut ternyata belum mampu diterima oleh masyarakat Islam secara luas, sehingga pencerahan yang dapat ditemukan pada buku tersebut tidak memiliki andil untuk mengisi dimensi Islam di Indonesia. Buku ini dilarang beredar karena dikhawatirkan akan meracuni pikiran umat, sehingga buku ini hanya dapat ditemukan di kantung mereka yang berani terbuka untuk wacana-wacana keislaman baru yang lebih segar.