/* Kotak Banner ===================== */ #Box-Banner-ads { margin: 0px; padding: 5px; text-align: center; } #Box-Banner-ads img { margin: 0px 8px 4px 0px; padding: 3px; text-align: center; border: 3px outset #c0c0c0; } #Box-Banner-ads img:hover { margin: 0px 8px 4px 0px; padding: 3px; text-align: center; border: 3px inset #333; }

Minggu, 01 Februari 2015

adab bertamu dan menerima tamu

adab-abad bertamu menurut islam:

1. Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ
“Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
2. Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)
3. Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.
4. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى
“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari)
5. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamu-tamunya:
فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ
“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)
6. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.
7. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.
8. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.
9. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.
10. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.
11. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.
12. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim ‘alaihis salam,
فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ
“Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)
13. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.
14. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.
15. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ
“Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.”
16. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah. (akhlakul karimah) 
sumber:http://andretauladan.blogspot.com/2012/01/adab-menerima-tamu-dalam-islam.html

 CARA MENERIMA TAMU MENURUT ISLAM:

1. Menjawab Salam
Menjawab salam saudara kita sesama muslim berarti merealisasikan sunnah
Rosululloh dan menunaikan hak sesama muslim.
Dari Abu Hurairoh berkata: Saya mendengar Rosululloh bersabda:
“Hak orang muslim terhadap muslim lainnya ada lima; Menjawab
salam… ” 
Adapun apabila ahli kitab yang mengucapkan salam, maka jawabannya
cukup hanya dengan ucapan “alaik” atau “alaikum”
saja, sebagaimana keterangan yang lalu.
2. Boleh Menanyakan Siapa Namanya
Ketika sohibul bait (tuan rumah) mengetahui ada tamu yang sedang
meminta izin masuk ke rumahnya sedangkan dia tidak mengenal sebelumnya,
maka boleh menanyakan namanya. Misalnya dengan menggunakan pertanyaan:
“Siapa nama Anda?”, “Siapa itu?”
atau pertanyaan serupa lainnya.
Dari Qotadah dia berkata: “Aku pernah bertanya kepada sahabat Anas: Apakah berjabat
tangan itu ada pada zaman sahabat Nabi” Maka dia menjawab:
“Ya”. 
Hikmah berjabat tangan sesama muslim sangat banyak sekali, antara
lain: dapat melapangkan dada, menambah erat ukhuwah Islamiyah dan
dapat menghapus dosa selama belum berpisah.
3. Boleh Menolak Tamu
Alloh memberi wewenang kepada shohibul bait untuk menentukan
sikap terhadap tamu yang datang antara menerima dan menolak. Jika
memang harus menolaknya karena suatu hal, maka hendaknya dia menolak
dengan sopan, menyampaikan udzurnya dan dengan adab yang baik.
Dari Abu Hurairah dari Nabi Beliau berkata:
… barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir maka hendaknya
memuliakan tamunya, dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan
hari akhir maka hendaknya bicara yang benar atau diam. 
4. Berjabat Tangan
Ketika bertemu dengan tamu saudara sesama muslim, disunnahkan berjabat
tangan sebagaimana amalan para sahabat Nabi Muhammad.
Dari Jabir bin Abdulloh bahwasanya dia berkata:
Saya datang kepada Rosululloh untuk membayar hutang ayahku, aku mengetuk
pintu rumahnya. Beliau bertanya: “Siapa itu?
Dari Al-Barro’ bin Azib ia berkata: Rosululloh bersabda:
Tidaklah dua orang Islam yang saling bertemi lalu berjabat tangan
melainkan Alloh akan mengampuni keduanya selagi belum berpisah. 
Tetapi bila tamunya wanita yang bukan mahrom, maka dilarang berjabat
tangan. Karena Rosululloh sepanjang hidupnya tidak pernah berjabat
tangan dengan wanita yang bukan mahromnya.
Dari Aisyah ia berkata:
… tidaklah pernah tangan Rosululloh menyentuh tangan seorang wanitapun
(yang bukan -mahromnya), kecuali budak wanita yang beliau miliki.
Bahkan dosa orang yang berjabat tangan atau menyentuh wanita yang
bukan mahromnya lebih pedih daripada ditusuk kepalanya dengan jarum
besi.
Dari Ma’qol bin Yasar ia berkata: Rosululloh bersabda:
“Sungguh kepala seorang bila ditusuk dengan jarum besi itu
lebih balk dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya “.
5. Boleh Saling Berpelukan
Berpelukan dengan tamu yang datang dari bepergian, pada asalnya dibolehkan,
karena banyak sahabat yang mengamalkannya. Imam Ahmad, Abu Ja’far
At-Thohawi berkata:
Ulama berselisih pendapat dalam hukum berpelukan. Ada yang membolehkan
dan ada yang melarang. Mereka yang membolehkan berdalil dengan riwayat
dari Sya’bi dengan sanadnya:
“Sesungguhnya sahabat Nabi apabila mereka bertemu, mereka
saling berjabat tangan dan bila datang dari bepergian mereka berpeluk-pelukan.
Dari Abu Ja’far dia berkata: Ketika aku datang menghadap Rosululloh
dari Najasi beliau menjumpaiku lalu memelukku.
Dari Ummu Darda’ dia berkata: Ketika Salman tiba, dia bertanya “Dimana
saudaraku?” Lalu aku menjawab: “Dia di masjid”,
lalu dia menuju ke masjid dan setelah melihatnya, dia memeluknya,
sedangkan sahabat yang lain saling berpeluk-pelukan pula.
Kesimpulannya: Pada mulanya dilarang berpeluk-pelukan kemudian atsar
berikutnya membolehkan. 
Muhammad Al-Mubarokfuri berkata:
“Adapun penggabungan hadits antara Riwayat Anas yang menerangkan
tidak disyari’atkannya berpelukan, dengan riwayat Aisyah yang membolehkannya,
maka riwayat Aisyah mertunjukkan kekhususan ketika datang dari bepergian.
Wallohu a’lam.” 
Kami tambahkan pula bahwa bab berpelukpelukan ini dikutip pula oleh
Imam Bukhori di dalam kitab shohihnya, Imam Tirmidzi di dalam kitab
Jami’nya dan Abu Dawud di dalam kitab Sunannya yaitu Kitab Al-Isti’dzan
wal Adab, silakan menelaahnya.
Walhasil, berpelukan dengan tamu yang baru datang dari bepergian jauh
dibolehkan asal sesama jenis. Sebagaimana yang pernah diamalkan oleh
para sahabat. Wallohu a’lam
SUMBER:http://tabeksirah.wordpress.com/2008/09/09/adab-menerima-tamu/


Tidak ada komentar: