Pembelajaran Bermakna dan Pembelajaran Hafalan
1.
Pembelajaran Bermakna (meaningful
learning)
Teori
pembelajaran Ausabel merupakan salah satu dari sekian banyaknya teori
pembelajaran yang menjadi dasar dalam cooperative learning. David Ausubel
adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel (Dahar 1996) bahan
subjek yang dipelajari siswa mestilah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran
bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep
relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif
ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah
disiswai dan diingat siswa. Suparno (1997) mengatakan pembelajaran bermakna
adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan
struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui
pembelajaran.
Pembelajaran
bermakna terjadi apabila siswa boleh menghubungkan fenomena baru ke dalam
struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan subjek itu mesti sesuai dengan keterampilansiswa
dan mesti relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh itu,
subjek mesti dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki para siswa,
sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan
demikian, faktor intelektual-emosional siswa terlibat dalam kegiatan
pembelajaran.
Pembelajaran
sejarah bukan hanya sekadar menekankan kepada pengertian konsep-konsep sejarah
belaka, tetapi bagaimana melaksanakan proses pembelajarannya, dan meningkatkan
kualitas proses pembelajaran tersebut, sehingga pembelajaran tersebut menjadi
benar-benar bermakna. Dengan pembelajaran koperatif, tentu bahan sejarah yang
disiswainya tidak hanya sekadar menjadi sesuatu yang dihafal dan diingat,
melainkan ada sesuatu yang dapat dipraktikkan dan dilatih dalam situasi nyata
dan terlibat dalam pemecahan masalah. Dengan demikian, pembelajaran koperatif
akan dapat mengusir rasa jemu dan bosan pembelajaran mata siswaan sejarah yang
lebih banyak menggunakan pendekatan ekpositori (Al Muchtar 2002), khasnya
pembelajaran sejarah yang selalu bermasalah selama ini.
Menurut
Ausubel, pemecahan masalah yang sesuai adalah lebih bermanfaat bagi siswa dan
merupakan strategi yang efisien dalam pembelajaran. Kekuatan dan makna proses
pemecahan masalah dalam pembelajaran sejarah terletak pada kemampuan siswa
dalam mengambil peranan pada kumpulannya. Untuk melancarkan proses tersebut
maka diperlukan bimbingan secara langsung daripada guru, sama ada secara lisan
maupun dengan tingkah laku, manakala siswa diberi kebebasan untuk membangun
pengetahuannya sendiri. Hal ini merupakan penekanan dalam pembelajaran
koperatif atau cooperative learning.
Lebih lanjut
Ausubel (dalam Kartadinata, 2001) mengemukakan, seseorang belajar dengan
mengasosiasikan fenomena, pengalaman dan fakta-fakta baru ke dalam skemata yang
telah dipelajari. Hal ini menjadikan pembelajaran akuntansi tidak hanya sebagai
konsep-konsep yang perlu dihapal dan diingat hanya pada saat siswa mendapat
materi itu saja tetapi juga bagaimana siswa mampu menghubungkan pengetahuan
yang baru didapat kemudian dengan konsep yang sudah dimilikmnya sehingga
terbentuklah kebermaknaan logis. Dengan model cooperative learning materi yang
dipelajarinya tidak hanya sekadar menjadi sesuatu yang dihafal dan diingat
saja, melainkan ada sesuatu yang dapat dipraktikkan dan dilatihkan dalam
situasi nyata dan terlibat dalam pemecahan masalah. Diharapkan model
cooperative learning akan dapat mengusir kejenuhan dan kebosanan yang dirasa
siswa di kelas karena selama ini hanya mendengarkan materi dan guru saja.
Penekanan dan model cooperative learning sendiri adalah selain siswa mendapat
bimbingan langsung dan guru, mereka juga diberi kebebasan untuk memecahkan
masalah lewat pengetahuan yang mereka dapatkan sendiri.
2.
Pembelajaran Hafalan (rote learning)
Pembelajaran hafalan ini merupakan kebalikan dari pada
pembelajaran bermakna. Pembelajaran hefalan ini selalu menekankan bahkan sering
kali lebih mengandalkan daya ingat saja terhadap sesuatu atau hal yang baru
saja di dengar atau yang telah dialami. Dalam hal ini pembelajaran hafalan
jarang bahkan tidak pernah mengkaitkat atau menghubungkan dengan informasi baru
pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif. Ausubel
menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Bell (1978: 132): “…, if the
learner’s intention is to memorise it verbatim, i,e., as a series of
arbitrarily related word, both the learning process and the
learning outcome must necessarily be rote and meaningless”. Intinya,
jika seorang anak, berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal
yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya
dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.
Contoh yang dapat
dikemukakan tentang belajar hafalan ini adalah beberapa siswa SD kelas 1 ataui
2 yang dapat mengucapkan: “Ini Budi. Ini Ibu Budi,” namun ia tidak dapat
menentukan sama sekali mana yang “i” dan mana yang “di”. Contoh lain untuk
labih dari belajar menghafal adalah siswa yang dapat mengingat dan menyatakan rumus
luas persegipanjang adalah L = p x l , namun ia tidak bisa menentukan luas
suatu per × psegi panjang
karena ia tidak tahu arti lambang L, p, dan l. Salah satu kelemahan dari
belajar hafalan atau belajar membeo telah ditunjukkan Nani di mana jawaban yang
benar, yaitu 1 + 1 = 2, diubah dengan jawaban yang lain ketika jawaban tersebut
pura-pura dianggap sebagai jawaban yang salah oleh bapaknya. Intinya, si Nani
tidak memiliki dasar yang kuat untuk meyakinkan dirinya sendiri, apalagi
meyakinkan orang lain bahwa 1 + 1 = 2. Lebih celaka lagi kalau temannya tadi
mengajari Nani bahwa 1 + 1 = 4 dan 2 + 2 = 6. Tidak mustahil jika ia
mengikutinya. Di samping itu, ia tidak bisa menjawab soal baru seperti 1 + 2
maupun 2 + 1 karena temannya belum mengajari hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar